Rabu, 08 Desember 2010

Butch? or femme?

        

Istilah butch dan femme ini sebetulnya merupakan wacana dan konsep “kuno” yang dulu awalnya digunakan oleh kelompok-kelompok lesbian kelas pekerja di Amerika yang memanfaatkan waktu senggangnya di bar-bar. Sejarahnya istilah ini dipakai pada tahun 1940-an sampai 1960-an dan memang dimaksudkan untuk membedakan lesbian yang berpenampilan lebih maskulin/tomboy dengan istilah butch, dan lesbian yang berpenampilan feminin dengan istilah femme. Sayangnya istilah butch dan femme ini pun mengukung ruang lingkup dan pergaulan para lesbian tersebut. Karena mereka pun mengadopsi budaya ”patriarkhi” yang membedakan penampilan butch dan femme sebagai relasi  lelaki vs perempuan. Terbayang kan saat itu yang namanya pasangan lesbian ya harus butch dengan femme, mereka menabukan hubungan butch dengan butch maupun femme dengan femme.


Bahkan  pada masa itu persoalan pakaian dan tingkah laku butch dan femme dibedakan sedemikian  ketat. Malah ada salah satu bar lesbian di Massachusetts yang memisahkan kamar kecilnya dengan tanda pada depan pintunya “butches”  dan  “femmes” (David Bianco, Butch – Femme Culture ).  Sebuah imitasi yang sangat berlaku umum untuk kaum hetero yang memisahkan toiletnya dengan tulisan ”Laki-laki” dan ”Perempuan”. Padahal lesbian adalah lesbian, yang bermakna mereka semua adalah perempuan.
Bagi para penulis kajian lesbianisme, memberi definisi antara butch dan femme sendiri sangat sulit. Namun salah seorang penulis kajian lesbian, Sherrie A. Inness dalam tulisannya yang berjudul Butch – Femme Relations, mendefinisikan secara sederhana bahwa butch dan femme merupakan adopsi peran tradisional yang diasosiakan layaknya hubungan laki-laki dan perempuan. Diidentikan bahwa butch itu  kelaki-lakian, dan femme menyandang “keperempuanan”.

Lebih lanjut bahwa butch mengenakan pakaian laki-laki serta agresif secara seksual. Sementara femme
mengenakan baju ’sangat perempuan’ dan pasif secara seksual.
Apabila kita memperhatikan definisi di atas maka makin terlihatlah cara pandang yang sungguh bias dan membuat relasi kaum lesbian makin terbatasi. Karena dalam prakteknya saat ini lesbian yang berpenampilan seolah ”butch”  kadang justru tidak agresif, demikian juga sebaliknya perempuan dengan tampilan lebih feminin malah banyak yang jauh lebih agresif. Pengkotakan lesbian dalam label butch dan femme, seolah menggiring pola pikir yang diusung kaum patriarkhi bahwa perempuan yang sebenar-benarnya perempuan adalah perempuan yang tidak agresif, perempuan yang pasif secara seksual. Sehingga ketika beraktifitas secara seksual pun terkadang ada rambu-rambu bagi pasangan lesbian bahwa yang dibebani label butchie harus lebih agresif. Ini mengkondisikan perempuan seolah dibatasi haknya untuk memperoleh kenikmatan seksual. Ada koridor yang tak terlihat yang seakan-akan tidak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk mengeksplore seksualitasnya secara bebas dan menyeluruh.

Parahnya budaya patriarkhi yang diadopsi sampai memasuki ranah wilayah ekonomi, yakni yang butch harus mencari uang dan yang femme mengurus rumah tangga. Lebih detil lagi butch pun dipersyaratkan harus lebih macho, lebih tabah, tidak boleh cengeng, dan atribut maskulin lainnya, pendeknya = lelaki. Sementara yang femme pun di perlakukan harus lebih lemah lembut, pandai urusan rumah tangga, dan segudang atribut lainnya yang khas menggunakan pola pikir patriarkhi. Yang terjadi kemudian hubungan antara lesbian berlabel ini pun tidak bersikap sejajar, karena ada yang berfungsi melindungi dan yang lainnya di lindungi. Ada yang harus menghidupi (memberi makan) dan harus dihidupi. Bisa ditebak kalau terjadi ketidakseimbangan, khususnya masalah ekonomi, maka pola pikir patriarkhi akan tetap hidup. Tentu saja kondisi ini pada akhirnya berubah seiring berjalannya kesadaran bahwa perempuan mencintai perempuan lain harus dengan kondisi kesetaraan, tidak ada yang dalam posisi dikuasai maupun menguasai.

Penggunaan istilah butch dan femme saat ini sudah tidak relevan lagi secara ideologis. Di Indonesia pun dulu ada istilah yang akrab digunakan yakni Sentul dan Kantil. Boleh saja orang menggunakan istilah ini asal untuk sekedar membandingkan penampilan, tetapi rasanya menyedihkan kalau masih dipakai untuk konteks berelasi. Hal ini bisa menyebabkan lesbian yang ”berlabel” butch merasa tidak bisa curhat, tidak bisa cengeng, maupun tidak bisa mengeluh di hadapan lesbian lainnya. Sebaliknya masih ada juga lesbian dengan pola pikir melabeli dirinya sebagai  ”femme”, kemudian merasa harus selalu dilindungi dan dimanjakan, tidak berupaya menjadi pribadi yang lebih mandiri.  Pun kegiatan berolahraga dan aktifitas jenis pekerjaan bisa-bisa dibatasi pula dengan asumsi bahwa butch lebih kuat/lebih perkasa daripada femme.


Banyak kalangan lesbian muda di Indonesia yang masih terjebak dalam pola pikir pelabelan butch dan femme ini dengan sangat mentahnya. Sehingga dalam sekat pergaulan dan pemilihan pasangan pun akhirnya menjadi terkotak-kotak sedemikian rupa. Yang paling mudah diamati adalah saat berkegiatan chating di dunia maya, identitas dengan label butch atau femme seolah bagian yang tidak bisa ditawar, selalu hal ini yang terlebih dahulu dipertanyakan. Seolah-olah sejak awal memang ada upaya membatasi peran dan pergaulan antara sesama lesbian.  Belum lagi dengan kerangka berpikir ala ”jaman purba” yang menabukan bentuk relasi perempuan berpenampilan sama dengan ledekan ”jeruk kok makan jeruk?”. Inilah sesungguhnya harus mulai direkonstruksi ulang, dibongkar, agar tidak ada lagi sekat-sekat yang membatasi kelompok muda lesbian Indonesia dari upaya menjadi pribadi yang lebih sehat  secara fisik dan jiwa serta mandiri secara finansial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar